Jumat, Maret 14, 2025
Google search engine
BerandaBerita"Kekeba" Sebuah Tradisi Leluhur Yang Mulai Tergerus budaya Moderen

“Kekeba” Sebuah Tradisi Leluhur Yang Mulai Tergerus budaya Moderen

KARAWANG | ARTOS- ARTNEWS.CLIK | 10/2/2025)Indonesia sangat kaya dengan beragam tradisi dan budaya, tak terkecuali di kampung Rangdu, Subang Pantura Jawa Barat, Sebuah tradisi “Kekebah” atau “Nujuh Bulan” tanda sebuah kehamilan ibu muda pada hamil pertama saat kandungan memasuki bulan ketujuh, sebuah laku ritual gelar sesaji dengan ciri khas “Longsong”, penganan dari beras dengan dicampur parutan kelapa dibungkus daun salam dilapisi daun pisang kemudian dikukus, dan rasanya gurih dan sedikit sepet dan beraroma khas.

Longsong sendiri bermakna falsafah agar “longsong” plong, ringan, lancar, tiada kendala dalam proses melahirkan.
Nujuh bulan, kekebah juga ditandai memandikan ibu hamil dengan air kembang setaman dengan doa yang sudah dijampi oleh dukun bayi, “Peraji”. Biasanya, ibu hamil dimandikan oleh suaminya dengan disaksikan peraji dalam bangunan kecil (sekitar 3X3 meter) terbuat dari bambu dengan dinding kain jarik, atap kertas wajik merah-putih dengan dekorasi uang kertas diikat benang lalu diikat tergantung, kemudian ditambah buah-buahan: kelapa muda, nanas serta buah segar lainnya.

Pada sesaji yang digelar di tengah rumah pun terdapat kelapa muda kuning, “Dugan”, telur ayam kampung dan ayam kampung kecil, “Pengurip”, lalu kendi. Kemudian telur ayam kampung yang ditaruh di atas kendi dipecahkan di atas jalan perempatan kampung oleh si bapak bayi lalu ditutup dengan membelah kelapa muda dan ditaruh jadi satu dengan pecahan kendi dan telur tadi. Prosesi itupun ditutup dengan doa bersama. Sementara para tetangga masih berdatangan untuk “kondangan”, undangan dengan membawa beras dalam baskom ada juga dengan “Jingjingan”.

Kekebah sendiri merupakan fase kedua setelah “Ngupat”, sebagai tanda usia kehamilan masuki bulan keempat. Ngupat sendiri ditandai dengan simbol ketupat, si empunya hajat membuat penganan dari beras dibungkus daun kelapa muda, dan ketupat inti berjumlah 4 buah. Biasanya dibarengi dengan sayur “Mengkreng”, sayur tempe campur cabe hijau dimasak santan dan berwarna kuning (kunyit).

Tradisi ini masih umum di kampung Rangdu, Subang Pantura, selain beberapa tradisi yang masih terjaga secara komunal, diantaranya; Sedekah Bumi, Mapag Sri, Ngunjung Buyut, dan lain-lain.

Pelik memang, sebuah tradisi turun temurun dijaga ketat oleh sebagian warga komunal namun di sisi lain arus moderen begitu derasnya, dan umumnya lebih digandrungi oleh anak-anak muda. Barangkali sebuah tradisi hanya akan terjaga jika ada jalinan antara generasi tua dengan generasi muda, lantas membahasakannya dengan bahasa kekinian atau sedikit memodivikasi agar tradisi tidak kaku. (Jun)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments